CHAPTER 3
Keluarga Baru
Genre: Romance-teen, Fantasy, Magic, School life
Sumber Gambar: Maaf admin lupa dari mana gambar ini, tapi yang pasti ini punya orang
“Ma! Pa! Cha, i’m
home!” Vigo berteriak begitu kencang seakan dirumah itu semua orang tuli, tapi
itu menjadi gaya khasnya yang tak bisa dihilangkan. “Nggak tahu apa Igo yang
ganteng ini sudah dirumah.”
Vigo masih sibuk
berteriak, saat Luna terus memandangi rumah Vigo yang begitu besar. Mulutnya
tak percaya dengan apa yang dia lihat, rumah itu mirip seperti yang ada
dilukisan yang diberikan ibunya dulu. Dengan tangga yang tinggi, lantai bening,
dan lampu besar yang menggantung. Sungguh wah.
“Ngapain sih loe
plonga-plongo kayak gitu?”
“Rumah kamu bagus,
kayak...” Luna tak melanjutkan omongannya, dia menutup mulutnya dengan tangan.
Enggak mungkin dia mengatakan apa yang diingatnya pada Vigo.
“Kayak apa?”
“Kayak istana.”
“Udah deh gak usah halu. Cepet bawa barang gue kekamar
dilantai atas, sebelah kiri deket pintu balkon.”
Luna mengangguk,
lalu meneteng tas milik Vigo yang entah kenapa terasa begitu berat, padahal
isinya hanya dua lembar baju, dua setel celana, sepasang sepatu dan sebagainya.
Enggak berat bukan? Berat!
Tapi, belum sempat
dia melangkahkan kakinya lagi. Mama dan papa Vigo datang menyambut keduanya.
Senyum manis bertumpu dibibir sepasang suami istri yang mulai masuk kepala
empat itu.
“Igo, kapan kamu
datang, nak? Loh kok Luna yang suruh bawa tasmu,”
“Dia pembantu kita
kan, Ma?”
“Pembantu? Enggak, Mama
suruh dia kesini untuk mengawasi kamu, dan Mama sama Papa sudah buat
kesepakatan kalau Luna juga bakalan sekolah sama kamu juga Chaca.”
“Mama ini ada-ada
aja. Jangan bercanda deh, Igo baru sampe nih.” Vigo sebenarnya sedikit merajut
dengan omongan yang mama, tapi ia berpikir positif bahwa itu hanya guyonan.
“Serius, Mama nggak
bercanda. Dan... kamu tahu, Mama sudah menyiapkan akta lahir Luna.”
“Akta lahir?” tanya
Vigo mengulang.
Tidak. Sudah terlalu
jauh dari pikirannya, tidak mungkinkan dia harus tinggal dan sekolah dengan cewek
dekil itu, bahkan sekarang Mamanya sudah menyiapkan akta lahirnya. Dunia
bebasnya bakalan hancur seketika. Mamanya akan menjadikan Luna sebagai
Bodyguard yang setiap saat mengintainya.
“Iya. Tada..!!” sang
Mama menunjukkan akta palsu yang berisi tanggal lahir, tempat lahir, dan nama
ayah. Apa?! Ayah Luna juga ayahnya, berati di akta itu Luna adik Vigo. Tidak!
“Mama sama Papa ini
aneh. Igo nggak mau!”
“Sudah terlambat.”
Vigo sudah tak habis
pikir dengan orang tuanya. Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hal sekonyol
itu untuk menampung Luna yang tak tahu dari mana. Bahkan mereka sudah
menganggap Luna sebagai anaknya sendiri.
Sumpah Vigo sudah
kehabisan akal dengan semua ini. Semua rencananya bakalan hancur gara-gara
cewek itu.
“Sudahlah mungkin
Igo masih sakit makanya mimpi ngawur. Ayo Lun, bawa tas gue kekamar.”
“Igo kamu jangan
nyuruh Luna!”
Teriakan sang Mama
tak didengar Vigo, ia masih berpikir bahwa semua itu halusinasinya.
%%%
Malam semakin
melarut, saat bintang bertebaran dilangit. Luna masih duduk ditaman belakang
rumah dengan pikiran yang mengambang. Padahal beberapa hari lalu dia sibuk
mencari jalan keluar dari hutan, dan setelah dia keluar semaunya menjadi hal
yang aneh. Dia malah terjebak didunia manusia, tinggal dirumah manusia, tanpa
tahu apa yang harus dia lakukan.
“Loe mikirin apa?”
suara Vigo dari belakang membuyarkan lamunan Luna.
Dengan langkah berat
karena kakinya yang sempat terkilir harus ia angkat sedikit dan memperlambat
langkahnya.
“Enggak. Aku nggak
mikirin apa-apa kok.”
“Masa? Gak mungkin
loe diam aja kalau gak mikirin sesuatu.”
Luna menarik nafas
panjang lalu membuangnya lagi seperti ingin menceritakan sesuatu, tapi tidak.
Dia malah hanya tersenyum sambil tetap diam.
“Kata Mama, gue ini
anak bandel. Kerjanya keluyuran, main sampai gak tahu waktu.” Lanjut Vigo
sambil bercerita pada Luna.
“Memang apa yang
kamu lakukan sampai ibu kamu bilang begitu?”
“Nggak ada sih. Ya
biasalah kelakuan remaja.”
“Remaja?”
“Loe sendiri, orang
tua loe dimana? Maksud gue, apa loe bener-bener lupa semuanya.”
Luna berpikir
sejenak, saat ini dia nggak harus bohong pada Vigo untuk menyembunyikan
semuanya dari Vigo, karena memang dia nggak tahu dimana orang tuanya.
“Aku nggak tahu
dimana orang tuaku, tapi yang sedikit aku ingat ayah sudah meninggal.
Sepertinya.”
“Kasihan juga ya
loe.”
Dikasihani Vigo,
tiba-tiba saja Luna tertawa kencang seakan-akan nggak ada yang terjadi tadi.
Semuanya seketika hilang, bahkan Vigo sendiri sampai mengangkat bibir kirinya
keatas. Gadis aneh, bisa-bisanya dia tertawa begitu semangat dalam keadaan
galau begini.
“Kok loe ketawa?”
“Soalnya kamu aneh.”
“Aneh apanya?”
“Aku saja biasa, kok
kamu bingung mikir.”
Vigo benar-benar
hanya bisa menggeleng-geleng kepala sendiri. Dia bukan hanya aneh, tapi seperti
robot yang tak punya perasaan sedih.
Keduanya mulai
sama-sama menatap langit. Satu, dua, tiga, bintang nampak indah dan semuanya
biasa, tapi ada satu bintang yang bercahaya seperti kebiruan. Mereka berteriak
bersama. “Bintang itu kan...!”
Mereka nampak
canggung dengan hanya memalingkan wajah masing-masing, entah ada yang sedang
mereka pikirkan. Seperti yang sedang dipikirkan Vigo, Luna mulai menarik
dunianya yang brutal dengan tingkah konyolnya. Perasaan itu sudah ia rasakan
sejak dirumah sakit, perasaan yang dirasakan setiap cowok permen karet.
“Eh Lun,” ujar Vigo
kemudian memecahkan keheningan.
“Ehm,”
“Besok kan loe mulai
sekolah, loe harus bisa beradabtasi dengan lingkungan baru loe.”
“Adabtasi?”
“Iya. Loe harus
menyesuaikan semunya, kayak bahasa sama pergaulan. Semua orangkan tahunya loe
adik gue jadi bahasa loe juga harus kayak gue.”
“Misalnya?”
“Loe harus ganti
kamu, sama loe. Coba deh.”
“Elo,” kata Luna
sedikit kaku mengucapkan kata itu, yang sebenarnya salah ejaan.
“Bukan elo, tapi
loe. L O E.”
Luna mulai bingung
dengan bahasa itu. apa bedanya coba? Dia pikir semuanya sama. “Apa bedanya?”
“Bedanya cara
pengucapan dan sama penulisan.”
“Tulisan?”
“Loe gak tahu
tulisan?”
Luna menggeleng.
“Yaampun, berarti
loe gak tahu abjad dong. Kayak A B C D dan teman-temannya?”
Lagi-lagi Luna hanya
bisa menggeleng kepala.
“Yaudah gih, nanti
gue ajarin sampai bisa. Siapa tahu alzaemar loe bisa berkurang itupun kalau gue
gak kolaps duluan.” Vigo lalu tertawa pelan.
Vigo nggak pernah
sebahagia ini sebelumnya saat bersama seorang cewek, Luna yang pertama kali melihat
Vigo tertawa. Apalagi selama ini yang dilakukannya hanya mempermainkan perasaan
cewek, memacarinya lalu meninggalkannya. Semua itu akibat dari persaingannya
dengan Angga, ketua club sepak bola yang paling songong menurutnya dan cowok
yang paling membencinya seseantero sekolah.
Angga selalu
mengajanya bertanding dalam hal apa pun. Entah itu menjadi ketua tim sepak
bola, atau memacari Disti yang sekarang malah pacaran sama Rendra si ketua
sangga pramuka. Bahkan bukan hanya itu, Angga sejak dulu memang tak menyukainya,
semua itu karena kesalahan Ayahnya yang dituduh membunuh Ibu Angga. Hasilnya?
Ayah Vigo mendekam dipenjara selama dua tahun dan denda maksimum.
“Sebelumnya gue gak
pernah ketawa kayak gini.” Kata Vigo kemudian, sambil berusaha berhenti dari
ketawa lirihnya.
“Kenapa? Ketawa kan
asyik.”
“Gue juga gak tahu.
Soalnya gak ada yang bisa buat gue ketawa.”
“Benarkah? Berarti
aku perlu mendapatkan hadiah karena itu.”
“Hadiah buat apa?”
“Karena sudah bisa
buat kamu ketawa.”
Vigo berpikir
sejenak. Hadiah? Sepertinya kata itu akan dia pertimbangkan untuk beberapa
waktu kedepan. Bukankah setiap pekerjaan harus mendapat imbalannya.
“Oke, gini aja. Aku
kasih tiga keinginan. Jadi loe boleh minta tiga keinginan apa pun sama gue.”
“Keinginan? Kayak
sihir gitu?”
“Ya sejenis itu deh.
Sekarang loe mau minta apa?”
“Minta apa ya?” Luna
berusaha berpikir keras untuk berpikir, untuk mendapatkan satu jawaban. Tapi,
tidak ada. “Sekarang belum ada, nanti aja ya.”
“Okeh, tapi ada
syaratnya. Loe gak boleh nyuruh gue cuci baju, nyetrika, cuci piring dan
seantek-anteknya. Dan satu lagi, kayak jinnya Aladin gue gak bisa ngasih
sesuatu tentang cinta.”
“Cinta, apa itu?”
“Cinta... besok loe
tanya Mama atau Chaca aja. Gue juga gak tahu.”
Baru dipertemukan
empat hari lima malam mereka sudah nampak akrab, bahkan bisa tertawa. Sedikit
demi sedikit Luna mulai melupakan tentang rombongannya, meski dia juga masih
mencari cara untuk bisa pulang kesana.
Ditengah obrolan
ringan itu, tanpa keduanya sadari sepasang mata menatap tajam dan nampak
angkuh. Chaca nggak suka melihat kedekatan mereka, bahkan rasanya
perlahan-lahan Luna mengambil Vigo dari sisinya.
Sejak pertama kali
melihat Luna, Chaca memang sudah benci, apalagi ditambah Luna pindah rumah dan
akan sekolah bersamanya, itu lebih membuatnay benci.
“Lihat aja, gue
bakalan ngebongkar kedok loe. Dan gue juga bakalan cari tahu asal usul loe
cewek sarap.” Chaca berlalu pergi dari sana.
Sementara itu Luna
dan Vigo nggak ada habisnya bercanda, meski bulan nggak lagi menampakkan
cahayanya. Yang perlahan ditutup awan hitam.
“Masuk yok, Lun.
Dingin banget, kaki gue juga udah pegel.”
“Yuk, aku juga mulai
kedinginan.”
Luna membantu Vigo
untuk berdiri dan berjalan kedalam rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar