CHAPTER 2
Pemburu Siluman
Genre: Romance-teen, Fantasy, Magic, School life
Sumber Gambar:Kisah-anak-kost-kikos-blogspot.com
Dua hari sudah Luna
menunggu Vigo dirumah sakit, segala keperluan Vigo semua Luna yang melakukan,
seperti makan. Kebiasaan itu membuat mereka dekat, bahkan perasaan jijik dan
tak suka yang awalnya dirasakan Vigo kini mulai sedikit hilang. Meski Vigo
masih penasaran dari mana sebenarnya gadis itu berasal.
Seperti hari itu,
saat matahari terik bercampur dengan dinginnya pagi. Vigo sudah melihat Luna
mondar-mondar didekat ranjang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia gelisah
memikirkan bagaimana caranya untuk tahu dimana sebenarnya rombongannya pergi,
dia ingin cepat-cepat pulang karena takut akan terjadi hal yang tak
diinginkannya.
“Ngapain sih loe
mondar-mandir kayak Vacum Cleaner?”
“Vacum Cleaner?”
“Gak udah diulang
kata-kata gue, kalau emang gak paham gak usah.” Vigo jengkel mendengar Luna
sering mengulang omongannya.
Sebenarnya Luna
tidak seperti itu, hanya saja apa yang diucapkan Vigo baru dia dengar. Selama
berkumpul dengan para siluman yang mereka ucapkan hanya seperlunya.
“Eh sini deh loe,”
Vigo berusaha meraih tangan Luna yang masih didepan perut. “Gue gak tahu harus
ngomong apa, tapi makasih ya buat pertolongan loe.”
Semakin intens
pegangan Vigo pada tangan Luna, yang membuat darah dibagian tangannya mengalir
lebih cepat dari biasanya. Jantung silumannya berdetak tak karuan, hingga
rasanya ada yang ingin meledak disana. Keringat panas dingin mulai terlihat
lagi dibarengi geteran hebat ditubuhnya.
“Loe kenapa Lun? Kok
gemetar gitu,”
“Enggak. Itu, anu,
apa namanya. Aku ingin buang air.” Buru-buru Luna berlalu untuk menyembunyikan
rasa gemetarnya. Selian itu dia memang ingin kekamar mandi.
Ditutupnya pelan
pintu ruangan Vigo, lalu berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang banyak
orang . Sambil terus memegangi baju bawahnya dia berjalan cepat.
Saat berada dilorong
dekat toilet, sepasang mata menatap tingkat aneh Luna. Tatapan mata yang tajam
dan menusuk itu menoleh dengan putaran leher 900 derajat. Ada yang
sedang dipikirkan Tuan Candra ketika melihat gadis aneh yang berlari kecil itu. lagi-lagi aroma yang keluar dari tubuh
Luna membuat beberapa orang sadar, termasuk Tuan Candra.
Sudah lebih dari
bertahun-tahun dicarinya aroma itu, dan kini tanpa bersusah payah ia
mendapatkannya. Satu siluman yang akan menjadikannya anggota pemburu kembali.
sudah lama ia tersingkir dari sana, semua karena kesalahan sahabatnya dan
karena kesalahan itu juga istrinya harus meregang nyawa didepan matanya.
“Pak, kenapa anda
masih disini? Rapat segera dimulai.” Seorang laki-laki membuatnya tersadar dari
lamunannya sesaatn yang lalu mengajaknya pergi.
%%%
“Sebenarnya loe ini
siapa sih, Lun? Gak mungkin kan tiba-tiba loe datang Cuma buat nyelametin gue. Asal usul loe gak jelas.” Tanya Vigo
saat terlibat obrolan tak jelas dengan Luna.
Vigo dan luna mulai nampak akrab, saat gadis
bermata amber itu begitu antusias dalam cerita, yang kadang dibumbui kekocakan.
Gaya bicaranya yang aneh menarik perhatian Vigo untuk terus bertanya dan
berusaha membuat suasana sore itu nampak lebih ceria. Karena selama dua hari
ini.
“Gue bukan anak
kecil yang bisa loe bohongi, Lun. Ayo ngomong gue gak bakalan marah kok,”
lanjut Vigo
Luna sedikit ragu
untuk bercerita, meski sebenarnya dia tetap tak ingin mengatakan bahwa dia
adalah siluman musang. Maka dari itu dia mencari cara untuk berkata bohong pada
Vigo. Agar pikiran Vigo bisa sedikit terobati. Saat mencari cara itu digigitnya
bibir bawahnya sambil kembali bergetar.
“Aku nggak bermaksud
mau ngebohongi kamu, tapi sebenarnya aku nggak mengingat apa pun tentang
diriku. Yang kuingat, aku kabur dari sebuah gubuk kecil ditengah hutan, saat
aku menyebrang jalan aku hampir tertabrak motor kamu.”
“Sebentar-sebentar,”
potong Vigo. “Hampir tertabrak gimana maksud loe? Yang gue inget dan gak
mungkin gue lupa, saat malam hampir pukul satu dini hari gue baru pulang dari
pesta ultah temen gue dan saat itu gue hampir nabrak hewan sejenis musang atau
sigung.”
“Yang kamu ingat
salah, Go. Sebenarnya saat itu aku sedang menyebrang jalan dan tak sengaja
kalungku terlepas aku berusaha mengambilnya, tapi dari arah depan ada kamu.
Kamu mengelak dan menabrak pohon.”
“Iya, itu gue inget.
Tapi, yang hampir gue tabrak itu bukan loe.” Vigo terus ngeyel dengan apa yang
dikatan Luna, karena semua yang dikatakan Luna tak sama dengan apa yang
diingatnya malam itu.
Vigo semakin dibuat
pusing, bagaimana mungkin seekor musang itu ternyata gadis yang sedang
merunduk, hal itu nampak konyol dan tak masuk akal. Apa saat itu ia tengah
dibawah halusinasi, sehingga apa yang dipikirikannya menjadi kenyataan?
Sepertinya tidak. Malah yang diingatnya saat ia sedang berdansa dengan Cindy,
gadis cantik pacar si ketua osis. Mungkin karena pikiran ngaco’ itulah, ia
sampai lupa tentang kejadian malam itu.
“Sudahlah mungkin
gue yang lupa. Oh iya besok gue udah boleh pulang, loe jadi ikut kan?”
“Emang nggak apa-apa
aku ikut, aku kan bukan anggota keluarga kalian?”
“Emang bukan, tapi
sekarang loe udah resmi jadi asisten pribadi gue. Selama loe belum inget
apa-apa.”
“Asisten pribadi?”
Mendengar omongan
Luna lagi, Vigo Cuma bisa nepok jidat. Kok
ada makhluk kayak dia?
“Asisten pribadi itu
orang yang tugasnya disuruh-suruh.”
“Oh itu ya.”
“Loe sebenarnya
amnesia apa alzaemar sih, bingung gue. Gih bantuin gue bangun.”
“Alzaemar? Kamu mau
kemana?”
“Toilet. Cepetan.
Bisa-bisa gue keluar disini nih.”
“Jangan, nanti bau.”
“Yaudah cepetan.”
Luna membantu Vigo
berdiri dari duduknya, dengan badan yang tidak begitu kuat dia berusaha
membopong Vigo. Lagi-lagi saat dekat dengan Vigo jantungnya berdetak lebih
cepat. Dia bahkan hampir jatuh kalau Vigo tidak bertahan. Dia tidak pernah
merasakan seperti ini sebelumnya. Apa dia jatuh cinta? Tidak! Ini terlalu dini
untuk mengatakan hal itu, dan seharusnya hal itu tak terjadi, karena keinginan
terbesarnya adalah pulang kerumah dan bukannya mengurusi hal yang tak penting
tentang cinta atau apalah itu.
Luna menunggu diluar
pintu toilet sementara Vigo sibuk dengan ritualnya, saat itulah tiba-tiba
tubuhnya merasa dingin dan menggigil, bahkan mantel yang ia gunakan tak mampu
menahan hawa dingin yang masuk ketubuhnya.
Seperti ada sesuatu
yang masuk kesana, bukan seperti angin tapi lebih tepatnya hawa yang tak bisa
diterka. Tubuhnya kini mulai melemas, bibir ungunya semakin pucat dan bergetar,
bahkan dia sampai terjatuh didepan pintu toilet. Dia tidak kuat lagi berdiri,
bahkan tiba-tiba dia tak ingat apapun, selain bayangan hitam yang menerjang
penglihatannya.
Dan kini yang keluar
dari mulutnya hanya rintihan pelan. “Ibu, Ibu, Ibu.”
Saat itulah Vigo
keluar dari toilet dan menemukan Luna tergeletak tak berdaya. Digoyangkannya
tubuh Luna pelan tapi tetap tak ada reaksi apa pun.
“Lun, bangun Lun.
Loe kenapa?” Vigo terlihat panik melihat kondisi Luna, ia tak mau jika terjadi
sesuatu pada gadis dekil itu. “Tolong! Dokter, suster! Siapa pun!” teriaknya
mengencang agar ada yang mendengar. Tak mungkin ia membopong Luna, karena ia
sendiri sudah untuk berjalan.
%%%
Vigo nampak cemas,
saat seorang Dokter masih memeriksa tubuh Luna yang terbaring disebelah
kamarnya. Ia tak lagi berada dikamar, tapi diluar pintu kamar Luna. Keadaan
Luna memang tidak baik semenjak ia temukan didepan pintu toilet, dan ia takut
terjadi sesuatu pada gadis itu.
Saat kecemasan itu
masih datang, seorang pria berjas putih dengan titel DR keluar dari sana, yang
langsung membuat Vigo bertanya. “Dok, bagaimana keadaan adik saya?”
“Tidak apa-apa. Dia
hanya butuh istirahat, dia kelelahan dan tidak perlu menginap. Dia bisa
menemanimu lagi, hanya saya jangan biarkan dia tidur terlalu malam.”
Kata-kata sang Dokter
membuat Vigo bernafas lega. Untung tidak terjadi apa-apa dengannya. Kenapa dia
sebegitu khawatirnya pada Luna, dengan gadis dekil yang baru dikenalnya tiga
hari? Ia mulai care pada gadis itu. Apa dia tertarik? Ah tidak mungkin, Luna
bukan tipenya.
Setelah dokter
berlalu pergi, Vigo dan batang botol infusnya datang kekamar Luna. Melihat
lebih dekat bagaimana keadaan Luna, atau bahkan ingin marah dengannya.
“Kok loe gak ngomong
sih, kalau loe gak enak badan?”
“Nggak enak badan?”
katanya lemas.
“Coba loe bilang
kalau sakit, loe kan bisa istirahat. Gak usah sebegitunya nungguin gue.”
“Kamu marah?”
“Gue gak marah Lun,
gue Cuma khawatir. Dari sore sampai dini hari loe baru sadar.”
Khawatir? Luna
hampir saja tak percaya dengan apa yang didengarnya. Baru kali ini ada yang
mengatakan rasa khawatirnya. Bahkan rasanya kata khawatir itu sangat bermakna
untuknya.
“Aku juga nggak
tahu, tiba-tiba saja badanku dingin eh bangun-bangun udah ada disini.”
“Itu namanya loe gak
enak badan, kecapean, meriang, dan sbgnya (sebagainya).”
“Oh gitu ya.”
“Gitu ya-gitu ya.
Yaudah gih, balik kekamar terus tatain baju gue, besok pagi kita pulang, jadi
biar gak bingung.”
Luna tersenyum, lalu
bangun dari berbaringnya dan mendekati Vigo.
Sementara itu hal
berbeda diruang kerja Tuan Candra yang sepi, hanya ada ia dan jam yang terus
berdentang dengan jarum tepat didekat angka dua belas. Sudah hampir tengah
malam, tapi matanya tak kunjung ingin ditutup, sebenarnya ia yang belum ingin
menutupnya, sampai ia temukan satu ide untuk menangkap siluman itu. Ia harus
mendapatkannya bagaimana pun caranya, karena ini satu-satunya jalan untuk
membalas dendam.
Kesalahannya dulu
karena melepaskan Bobcat, membuat sang ketua anggota pemburu mengeluarkannya
dan untuk kembali masuk ia harus menangkap satu siluman. Padahal hal itu sudah
terjadi lama, bahkan ia sendiri tidak tahu apakah perkumpulan itu masih ada
atau tidak.
Meskipun perkumpulan
itu telah bubar, tapi ia tetap ingin menangkap siluman-siluman yang telah
merenggut nyawa istri yang dicintainya, setelah kematian sang istri ia harus
merawat sang anak seorang diri selama dua belas tahun.
“Dendam ini akan
terus aku bawa, sampai aku menghabisi siluman-siluman itu.” gumamnya sendiri.
Tanpa ia sadar
seorang remaja tengah memandanginya dari ambang pintu.
“Balas dendam pada
siluman apa maksud, Papa?”
“Sayang?” kata Tuan Candra
gugup. “Ngapain kamu kesini? Inikan sudah malam.”
“Harusnya aku yang
bertanya, kenapa Papa semalam ini belum masuk kamar? Papa besok kan harus ke rumah
sakit.”
“Ini Papa sudah mau
tidur kok.” Kata Tuan Candra bohong sambil berjalan mendekati sang anak.
Selama bertahun-tahun
anaknya tak pernah mengetahui rahasia yang dia sembunyikan. Yang diketahuinya
hanyalah sang Mama meninggal karena dibunuh seorang pria yang telah masuk
penjara. Dan rahasia itu akan terus Tuan Candra simpan, sampai kapan pun._