Senin, 31 Oktober 2016

OWSTON LOVE STORY- Chapter 2 #FantasyBercerita

CHAPTER 2
Pemburu Siluman


Genre: Romance-teen, Fantasy, Magic, School life
Sumber Gambar:Kisah-anak-kost-kikos-blogspot.com





Dua hari sudah Luna menunggu Vigo dirumah sakit, segala keperluan Vigo semua Luna yang melakukan, seperti makan. Kebiasaan itu membuat mereka dekat, bahkan perasaan jijik dan tak suka yang awalnya dirasakan Vigo kini mulai sedikit hilang. Meski Vigo masih penasaran dari mana sebenarnya gadis itu berasal.

Seperti hari itu, saat matahari terik bercampur dengan dinginnya pagi. Vigo sudah melihat Luna mondar-mondar didekat ranjang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia gelisah memikirkan bagaimana caranya untuk tahu dimana sebenarnya rombongannya pergi, dia ingin cepat-cepat pulang karena takut akan terjadi hal yang tak diinginkannya.

“Ngapain sih loe mondar-mandir kayak Vacum Cleaner?”

“Vacum Cleaner?”

“Gak udah diulang kata-kata gue, kalau emang gak paham gak usah.” Vigo jengkel mendengar Luna sering mengulang omongannya.

Sebenarnya Luna tidak seperti itu, hanya saja apa yang diucapkan Vigo baru dia dengar. Selama berkumpul dengan para siluman yang mereka ucapkan hanya seperlunya.

“Eh sini deh loe,” Vigo berusaha meraih tangan Luna yang masih didepan perut. “Gue gak tahu harus ngomong apa, tapi makasih ya buat pertolongan loe.”

Semakin intens pegangan Vigo pada tangan Luna, yang membuat darah dibagian tangannya mengalir lebih cepat dari biasanya. Jantung silumannya berdetak tak karuan, hingga rasanya ada yang ingin meledak disana. Keringat panas dingin mulai terlihat lagi dibarengi geteran hebat ditubuhnya.

“Loe kenapa Lun? Kok gemetar gitu,”

“Enggak. Itu, anu, apa namanya. Aku ingin buang air.” Buru-buru Luna berlalu untuk menyembunyikan rasa gemetarnya. Selian itu dia memang ingin kekamar mandi.

Ditutupnya pelan pintu ruangan Vigo, lalu berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang banyak orang . Sambil terus memegangi baju bawahnya dia berjalan cepat.

Saat berada dilorong dekat toilet, sepasang mata menatap tingkat aneh Luna. Tatapan mata yang tajam dan menusuk itu menoleh dengan putaran leher 900 derajat. Ada yang sedang dipikirkan Tuan Candra ketika melihat gadis aneh yang berlari kecil  itu. lagi-lagi aroma yang keluar dari tubuh Luna membuat beberapa orang sadar, termasuk Tuan Candra.

Sudah lebih dari bertahun-tahun dicarinya aroma itu, dan kini tanpa bersusah payah ia mendapatkannya. Satu siluman yang akan menjadikannya anggota pemburu kembali. sudah lama ia tersingkir dari sana, semua karena kesalahan sahabatnya dan karena kesalahan itu juga istrinya harus meregang nyawa didepan matanya.

“Pak, kenapa anda masih disini? Rapat segera dimulai.” Seorang laki-laki membuatnya tersadar dari lamunannya sesaatn yang lalu mengajaknya pergi.

%%%

“Sebenarnya loe ini siapa sih, Lun? Gak mungkin kan tiba-tiba loe datang Cuma buat nyelametin  gue. Asal usul loe gak jelas.” Tanya Vigo saat terlibat obrolan tak jelas dengan Luna.

 Vigo dan luna mulai nampak akrab, saat gadis bermata amber itu begitu antusias dalam cerita, yang kadang dibumbui kekocakan. Gaya bicaranya yang aneh menarik perhatian Vigo untuk terus bertanya dan berusaha membuat suasana sore itu nampak lebih ceria. Karena selama dua hari ini.

“Gue bukan anak kecil yang bisa loe bohongi, Lun. Ayo ngomong gue gak bakalan marah kok,” lanjut Vigo

Luna sedikit ragu untuk bercerita, meski sebenarnya dia tetap tak ingin mengatakan bahwa dia adalah siluman musang. Maka dari itu dia mencari cara untuk berkata bohong pada Vigo. Agar pikiran Vigo bisa sedikit terobati. Saat mencari cara itu digigitnya bibir bawahnya sambil kembali bergetar.

“Aku nggak bermaksud mau ngebohongi kamu, tapi sebenarnya aku nggak mengingat apa pun tentang diriku. Yang kuingat, aku kabur dari sebuah gubuk kecil ditengah hutan, saat aku menyebrang jalan aku hampir tertabrak motor kamu.”

“Sebentar-sebentar,” potong Vigo. “Hampir tertabrak gimana maksud loe? Yang gue inget dan gak mungkin gue lupa, saat malam hampir pukul satu dini hari gue baru pulang dari pesta ultah temen gue dan saat itu gue hampir nabrak hewan sejenis musang atau sigung.”

“Yang kamu ingat salah, Go. Sebenarnya saat itu aku sedang menyebrang jalan dan tak sengaja kalungku terlepas aku berusaha mengambilnya, tapi dari arah depan ada kamu. Kamu mengelak dan menabrak pohon.”

“Iya, itu gue inget. Tapi, yang hampir gue tabrak itu bukan loe.” Vigo terus ngeyel dengan apa yang dikatan Luna, karena semua yang dikatakan Luna tak sama dengan apa yang diingatnya malam itu.

Vigo semakin dibuat pusing, bagaimana mungkin seekor musang itu ternyata gadis yang sedang merunduk, hal itu nampak konyol dan tak masuk akal. Apa saat itu ia tengah dibawah halusinasi, sehingga apa yang dipikirikannya menjadi kenyataan? Sepertinya tidak. Malah yang diingatnya saat ia sedang berdansa dengan Cindy, gadis cantik pacar si ketua osis. Mungkin karena pikiran ngaco’ itulah, ia sampai lupa tentang kejadian malam itu.

“Sudahlah mungkin gue yang lupa. Oh iya besok gue udah boleh pulang, loe jadi ikut kan?”

“Emang nggak apa-apa aku ikut, aku kan bukan anggota keluarga kalian?”

“Emang bukan, tapi sekarang loe udah resmi jadi asisten pribadi gue. Selama loe belum inget apa-apa.”

“Asisten pribadi?”

Mendengar omongan Luna lagi, Vigo Cuma bisa nepok jidat. Kok ada makhluk kayak dia?

“Asisten pribadi itu orang yang tugasnya disuruh-suruh.”

“Oh itu ya.”

“Loe sebenarnya amnesia apa alzaemar sih, bingung gue. Gih bantuin gue bangun.”

“Alzaemar? Kamu mau kemana?”

“Toilet. Cepetan. Bisa-bisa gue keluar disini nih.”

“Jangan, nanti bau.”

“Yaudah cepetan.”

Luna membantu Vigo berdiri dari duduknya, dengan badan yang tidak begitu kuat dia berusaha membopong Vigo. Lagi-lagi saat dekat dengan Vigo jantungnya berdetak lebih cepat. Dia bahkan hampir jatuh kalau Vigo tidak bertahan. Dia tidak pernah merasakan seperti ini sebelumnya. Apa dia jatuh cinta? Tidak! Ini terlalu dini untuk mengatakan hal itu, dan seharusnya hal itu tak terjadi, karena keinginan terbesarnya adalah pulang kerumah dan bukannya mengurusi hal yang tak penting tentang cinta atau apalah itu.

Luna menunggu diluar pintu toilet sementara Vigo sibuk dengan ritualnya, saat itulah tiba-tiba tubuhnya merasa dingin dan menggigil, bahkan mantel yang ia gunakan tak mampu menahan hawa dingin yang masuk ketubuhnya.

Seperti ada sesuatu yang masuk kesana, bukan seperti angin tapi lebih tepatnya hawa yang tak bisa diterka. Tubuhnya kini mulai melemas, bibir ungunya semakin pucat dan bergetar, bahkan dia sampai terjatuh didepan pintu toilet. Dia tidak kuat lagi berdiri, bahkan tiba-tiba dia tak ingat apapun, selain bayangan hitam yang menerjang penglihatannya.

Dan kini yang keluar dari mulutnya hanya rintihan pelan. “Ibu, Ibu, Ibu.”

Saat itulah Vigo keluar dari toilet dan menemukan Luna tergeletak tak berdaya. Digoyangkannya tubuh Luna pelan tapi tetap tak ada reaksi apa pun.

“Lun, bangun Lun. Loe kenapa?” Vigo terlihat panik melihat kondisi Luna, ia tak mau jika terjadi sesuatu pada gadis dekil itu. “Tolong! Dokter, suster! Siapa pun!” teriaknya mengencang agar ada yang mendengar. Tak mungkin ia membopong Luna, karena ia sendiri sudah untuk berjalan.

%%%

Vigo nampak cemas, saat seorang Dokter masih memeriksa tubuh Luna yang terbaring disebelah kamarnya. Ia tak lagi berada dikamar, tapi diluar pintu kamar Luna. Keadaan Luna memang tidak baik semenjak ia temukan didepan pintu toilet, dan ia takut terjadi sesuatu pada gadis itu.

Saat kecemasan itu masih datang, seorang pria berjas putih dengan titel DR keluar dari sana, yang langsung membuat Vigo bertanya. “Dok, bagaimana keadaan adik saya?”

“Tidak apa-apa. Dia hanya butuh istirahat, dia kelelahan dan tidak perlu menginap. Dia bisa menemanimu lagi, hanya saya jangan biarkan dia tidur terlalu malam.”

Kata-kata sang Dokter membuat Vigo bernafas lega. Untung tidak terjadi apa-apa dengannya. Kenapa dia sebegitu khawatirnya pada Luna, dengan gadis dekil yang baru dikenalnya tiga hari? Ia mulai care pada gadis itu. Apa dia tertarik? Ah tidak mungkin, Luna bukan tipenya.

Setelah dokter berlalu pergi, Vigo dan batang botol infusnya datang kekamar Luna. Melihat lebih dekat bagaimana keadaan Luna, atau bahkan ingin marah dengannya.

“Kok loe gak ngomong sih, kalau loe gak enak badan?”

“Nggak enak badan?” katanya lemas.

“Coba loe bilang kalau sakit, loe kan bisa istirahat. Gak usah sebegitunya nungguin gue.”

“Kamu marah?”

“Gue gak marah Lun, gue Cuma khawatir. Dari sore sampai dini hari loe baru sadar.”

Khawatir? Luna hampir saja tak percaya dengan apa yang didengarnya. Baru kali ini ada yang mengatakan rasa khawatirnya. Bahkan rasanya kata khawatir itu sangat bermakna untuknya.

“Aku juga nggak tahu, tiba-tiba saja badanku dingin eh bangun-bangun udah ada disini.”

“Itu namanya loe gak enak badan, kecapean, meriang, dan sbgnya (sebagainya).”

“Oh gitu ya.”

“Gitu ya-gitu ya. Yaudah gih, balik kekamar terus tatain baju gue, besok pagi kita pulang, jadi biar gak bingung.”

Luna tersenyum, lalu bangun dari berbaringnya dan mendekati Vigo.

Sementara itu hal berbeda diruang kerja Tuan Candra yang sepi, hanya ada ia dan jam yang terus berdentang dengan jarum tepat didekat angka dua belas. Sudah hampir tengah malam, tapi matanya tak kunjung ingin ditutup, sebenarnya ia yang belum ingin menutupnya, sampai ia temukan satu ide untuk menangkap siluman itu. Ia harus mendapatkannya bagaimana pun caranya, karena ini satu-satunya jalan untuk membalas dendam.

Kesalahannya dulu karena melepaskan Bobcat, membuat sang ketua anggota pemburu mengeluarkannya dan untuk kembali masuk ia harus menangkap satu siluman. Padahal hal itu sudah terjadi lama, bahkan ia sendiri tidak tahu apakah perkumpulan itu masih ada atau tidak.

Meskipun perkumpulan itu telah bubar, tapi ia tetap ingin menangkap siluman-siluman yang telah merenggut nyawa istri yang dicintainya, setelah kematian sang istri ia harus merawat sang anak seorang diri selama dua belas tahun.

“Dendam ini akan terus aku bawa, sampai aku menghabisi siluman-siluman itu.” gumamnya sendiri.

Tanpa ia sadar seorang remaja tengah memandanginya dari ambang pintu.

“Balas dendam pada siluman apa maksud, Papa?”

“Sayang?” kata Tuan Candra gugup. “Ngapain kamu kesini? Inikan sudah malam.”

“Harusnya aku yang bertanya, kenapa Papa semalam ini belum masuk kamar? Papa besok kan harus ke rumah sakit.”

“Ini Papa sudah mau tidur kok.” Kata Tuan Candra bohong sambil berjalan mendekati sang anak.

Selama bertahun-tahun anaknya tak pernah mengetahui rahasia yang dia sembunyikan. Yang diketahuinya hanyalah sang Mama meninggal karena dibunuh seorang pria yang telah masuk penjara. Dan rahasia itu akan terus Tuan Candra simpan, sampai kapan pun._

Selasa, 25 Oktober 2016

OWSTON LOVE STORY- Chapter 1 #FantasyBercerita

CHAPTER 1
Gadis Aneh di Hutan Ujung Kota


Genre: Romance-teen, Fantasy, Magic, School life
Sumber Gambar : id.tubqit.com


Bulan nampak menaung diatas sana. Warna kuning terangnya menyilaukan mata, hingga kepelosok hutan belantara. Teriakan dan ngauman anjing-anjing liar mengudara dengan nyaring. Tapi, gadis itu seperti tak takut akan kegelapan malam, dia malah terus berjalan tanpa tahu arah. Rambut hitam panjang dan bergelombangnya perlahan menyibak terkena hembusan angin dingin. Gaun putih sebatas lutut yang terbungkus mantel coklat sudah terlihat kusam dengan tanah dan lumpur, seperti corak kain yang berbulan-bulan tak tersentuh genangan air.
Kaki telanjangnya terus saja melangkah, menginjak ranting dan daun kering dibawah pohon perdu dengan tinggi puluhan meter. Dibawah pohon akasia ada gundukan batu yang cukup besar hingga menyandung kakinya.
Tubuhnya hilang ditelan keanehan, saat tiba-tiba seekor musang belang owston malah nampak mengaduh. Gadis yang sering disebut Luna itu sudah seperti tak nampak lagi, padahal dia telah menjelma menjadi seekor musang.
Sudah lebih dari tiga hari dia tertinggal, rombongan sebangsanya meninggalkannya sendiri. Bukan, mereka tak pergi begitu saja, tapi Luna tak sengaja tertinggal. Seharusnya dia sekarang berkumpul dengan yang lainnya, tapi karena kesalahanya hal itu tak akan terjadi sampai dia tahu dimana mereka pergi.
Saat tubuhnya menjadi seekor musang, nampak kilatan cahaya merah dilangit. Dengan gerakan cepat dia mengejar cahaya itu, dia berharap jatuhnya semburat merah itu ada didunianya. Semakin terang cahaya itu, hampir-hampir saja dia kehilangan jejak, bahkan rasanya sudah tertutup lebatnya pohon. Tapi, tidak. Cahaya itu kembali mengudara dengan warna yang lebih terang, terus terang, dan pergi lagi entah dimana. Sesaat kemudian ada suara ledakan mirip bom. Nyaring!
Dia tak menemukan lagi, tapi kilatan cahaya yang sama seperti yang pernah ia lihat menembus selisih pohon hutan kini terlihat sangat banyak. Lalu-lalang benda-benda besar seukuran setengah gajah beterbaran, bahkan benda dengan suara nyaring menghancurkan telinga memekik tajam.
Dan disana. Lampu yang menyorot tajam menyilaukan matanya. Lagi, suara nyaring seperti teriakan kuda terjepit membuat telinganya sakit. Bahkan setelah suara itu seorang laki-laki berteriak kencang.
“Woi! Hewan, minggir loe!”teriakan Vigo tak diindahkannya, bahkan Luna hanya diam saja. Padahal berulang kali ia membunyikan klakson tapi tak ada gunanya.
Selangkah kemudian Vigo memutar stangnya kekiri sambil berusaha menghindari Luna, tapi yang ia dapatkan kesialan. Motor depannya menabrak pohon besar dipinggir jalan. Tebeng dan lampu depannya hancur tak berbekas, membuat tubuh Vigo terguling kesamping motor, helmnya terlepas dari kepala dan membuat kepalanya terbentur tanah keras. Terlihat sekarang genangan darah pekat disana.
Luna tak mau tinggal diam. Sosok gadisnya berusaha menolong, tapi dia malah bingung. Sesekali digigitnya jari kukunya dan berulang kali dia menaruh lalu menarik kembali mantel bulu coklatnya. Gelisah.
“Aduh kenapa ini cowok, apa dia mati?” tanya Luna panik sendiri. “Tidak-tidak. Tenang kamu Luna, dia nggak mati. Kamu nggak bunuh manusia ceroboh ini.” Dia berusaha terus menenangkan pikirannya yang sudah semakin kacau.
Keadaan Vigo sudah mengenaskan, tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Bahkan tangannya tak berdaya, saat berulang kali Luna mengangkat lalu menjatuhkannya lagi.
%%%
Lampu ruangan itu terang menyilaukan mata. Tubuh Vigo mulai bergerak, matanya terbuka lebar, tapi ia mulai mengaduh saat kepalanya yang diperban kesakitan. Vigo berada dirumah sakit sekarang, sudah jelas, ruangan itu, infus ditangannya, dan bajunya yang entah kapan diganti menandakan bahwa ia sudah tertahan disana untuk beberapa saat.
Tak mau terus bingung, Vigo berusaha bangkit dengan tubuh yang masih lemas. Tapi, saat ia menggerakkan tangan kanannya sesuatu benda mencegah, ia merasakannya dan yakin kalau benda itu bukan tikus atau sejenisnya yang akan membuatnya berteriak selain kemarahan sang Mama. Saat ditengokkan wajahnya, sebuah tangan menggenggam erat tangannya. Gadis dari mana ini? Tanya batinnya bingung.
Digoyang-goyangkannya lengan gadis  dekil itu, tapi tak ada reaksi. Gadis itu malah hanya menggaruk pipinya sambil melap air liurnya yang menggenang diselimut Vigo. Jorok! Vigo menggidik jijik dengan gadis itu.
“Eh loe. Hei bangun, siapa sih loe? Bangun gak, atau gue timpuk pakai botol infus nih.”
Vigo sudah naik pitam, kepalanya mulai berasap karena jengkel. Tapi, Luna tetap tak ber-respon. Bahkan disaat tidur pegangannya masih begitu erat. Vigo menarik tangannya sekencang mungkin, lalu sedikit menyepak Luna dengan kakinya. Ia kejam pada cewek! Ah mana ia peduli.  Sejurus kemudian tubuh Luna terjungkal kebawah ranjang.
“Aw!” Luna mengaduh. Vigo pura-pula bego’.
“Ngapain loe dibawah?”
“Ngapain-ngapain. Apa kamu nggak lihat. Eh kamu sudah bangun, kukira kamu bakalan mati.”
“Mati? Gak mungkinlah cuma gara-gara nabrak pohon gitu aja mati... semua ini karena hewan menjijikkan itu. Sialan.”
Luna menggeram diam mendengar Vigo menyebutnya hewan menjijikkan dan sialan. Vigo tak tahu saja bahwa gadis didepannya itu si musang yang sudah dimaki-makinya. Seandainya tahu pun mungkin ia akan menggidik takut dan lekas-lekas pergi dari rumah sakit itu, mengurung diri dikamar dan ditemukan mengenaskan. Tidak.
“Wait, loe siapa? Ngapain disini? lagian loe dekil banget.” Lanjut Vigo.
“Dekil? Kamu ini nggak tahu kalau aku yang nolongin kamu. Untung aku bawa kesini, kalau nggak kamu udah dikulitin sama anjing, digigitin tikus, terus dimakan sama serigala.”
“Udah-udah, bikin parno gue aja loe. Oke, makasih Eng...”
“Luna, panggil aku Luna.”
“Baik Sis Luna. Asal loe dari mana? Dan... sumpah loe dekil banget, berapa bulan sih loe gak mandi. Mana bau banget lagi. Huekk.”
“Bau?” Luna mencium badannya yang kata Vigo bau.
Memang harus diakuinya bahwa dia lupa kapan terakhir kali menyentuh air. Ah memang biasanya dia jarang mandi. Lagi pula musang mana yang mengenal mandi. Mereka adalah bangsa yang mengenal air hanya untuk minum. Mungkin.
Luna memajukan bibirnya, berusaha mencari alasan yang logis, karena tidak mungkin dia mengatakan pada manusia ceroboh itu kalau dia adalah silluman musang yang tertinggal jauh dari rombongannya yang bermigrasi.
“Aku juga tidak ingat siapa dan dari mana asalku, yang kuingat tiba-tiba aku menemukanmu jatuh dari benda didekat pohon.”
Vigo malah berusaha dan mencari cara agar si cewek itu bergegas pergi, bahkan cerita gadis itu tak sedikitpun membuat Vigo tergugah. Semua orang pasti menyangka bahwa dia gelandangan yang suka ngemis dijalanan. Kalau tidak, mungkin dia kabur dari penampungan. Sudah jelas bukan.
Tapi, kalau dilihat lebih dalam wajah Luna cukup menarik, bibirnya yang kecil dan sensual, matanya bulat dengan iris amber seperti Edward Cullen di Twillight, dan wajahnya bulat oval  atau sedikit lonjong, semua dipadu dengan rambut bergelombang mirip karakakter Aom Am (Didrama Full House versi Thailand). Tidak membosankan untuk dilihat.
“Kalau gue lihat loe lumayan juga, cuma kurang sedikit polesan atu permak (jeans?)”
“Polesan? Permak?” ulang Luna lagi-lagi dengan nada bingungnya.
Hadeh. Dia nggak begitu ngeh dengan omongan Vigo sedari tadi. Kadang cowok itu marah, merinding jorok, parno, sampai menggoda dengan mata yang dikerdipkan sebelah. Bulu kuduk Luna sampai terangkat sendiri, karena ini pertama kalinya dia mengobrol sejuah ini dengan manusia.
“Udah deh, dari pada loe berdiri disitu sambil megang jari loe, mendingan ambilin gue buah.”
Seperti sebuah perintah sang komandan pada anak buahnya, Luna langsung menuruti apa yang disuruh Vigo. Dia mengambil sebuah apel dipiring yang berada diatas meja dan langsung menyodorkannya pada Vigo. Sementara Vigo nampak tak peduli, bagaimana mungkin ia bakalan kuat menggigit buah itu dalam keadaan yang tidak stabil.
“Loe nyuruh gue makan buah itu dalam keadaan kayak gini? Wah sarap nih cewek. Kan loe bisa potong sama pisau.”
“Aku nggak pernah gunain pisau.”
“Yaampun loe makhluk dari mana sih, sampai gunain pisau aja gak bisa?”
Luna mengambil pisau yang berada disamping piring buah, dipandanginya benda putih tajam itu dengan seksama. Melihat benda itu, ingatan masa lalunya terulang kembali.
Saat itu bulan sabit kuning, saat para siluman mengalami kelemahan. Para pemburu datang kehutan dan menangkap satu persatu mereka termasuk ayah Luna, menggunakan pisau perak. Tak ada yang bisa mencegahnya, bahkan siluman Bobcat pun harus tertangkap, tapi tak sampai lama, Bobcat sudah terbebas dan mengetuai migrasi besar-besaran. Mengingat hal itu keringat panas-dingin menetes dari dahinya,dia sampai bergetar takut.
“Aku nggak bisa!” Luna berteriak, lalu melemparkan pisau itu disisi ranjang.
“Kenapa sih loe? Aneh.”
Luna masih mengingat kejadian itu, sementara Vigo berusaha perlahan membuka buah jeruk mandarin. Saat pintu ruangan dibuka cepat, seorang laki-laki dan dua perempuan datang menghampir Vigo dengan wajah lemas.
“Igo, kamu nggak apa-apa kan? Apa, apa ada yang harus dioperasi? Gimana keadaanmu sekarang? Kamu nggak amnesia, kan?” rentetan pertanyaan dari sang Mama membuat Vigo hanya bisa menarik nafas panjang. Mama kebiasaan. Batin Vigo.
“Apa sih Ma? Vigo kan udah gede nggak usah dibegituin. Lagian dia kan Cuma diperban.” Imbuh sang Papa menenangkan.
Chaca si adik malah mendekati Luna yang masih diam terpaku karena melihat keluarga Vigo datang. Chaca lalu berucap, “Kak Igo, cewek dekil ini siapa?”
“Iya Igo, dia siapa? Temen kamu? Kok kotor gitu.” Mama Vigo lalu mendekati Luna, dipegang pelan pundak Luna yang tak merespon. “Nama kamu siapa?”
“Luna.” Jawab Luna singkat.
“Luna, kamu temennya Vigo ya?”
Luna diam, tak tahu harus berkata apa. Karena dia tak tahu apa hubungannya dengan Vigo, teman pun bukan. Mereka bertemu karena tak sengaja. Seandainya pun Luna tak merasa bersalah mungkin dia sudah meninggalkan Vigo dari awal.
“Iya Ma, dia temen Vigo. Orang tuanya sudah meninggal lama, dia gak punya saudara, kemarin rumahnya kebakaran. Tapi, dia baik kok Ma, buktinya dia yang ngebawa dan nungguin Vigo dari kemarin.”
“Oh ya. Kasihan sekali. Gimana kalau kita bawa Luna pulang kerumah, biar tinggal bareng Vigo dan Chaca kan, pa.”
Sang Papa mengangguk.
“Apa?! Gak bisa Ma, Chaca gak mau dia tinggal satu rumah. Asal usulnya aja gak jelas, gimana kalau ternyata dia buronan polisi atau yang lainnya.”
“Jangan ngaco’ ah. Kan Vigo tadi ngomong kalau Luna itu temannya, itu cukup. Setelah Vigo keluar dari rumah sakit Luna harus ikut pulang.”
Sang Mama masih bersemangat mengajak Luna pulang, sementara Vigo dan Chaca sebenarnya memiliki pemikiran yang sama, tidak mau kalau cewek aneh itu tinggal satu rumah dengan mereka.
Dikeadaan yang sama,  Tuan Aris, Papa Vigo dan Chaca mencium keanehan tersendiri dalam diri Luna. Tuan Aris merasakan sesuatu yang tak ia rasakan pada anak-anak lain. Aroma yang begitu menyengat berbau natural tapi menusuk hidung. Mungkin hanya ia yang tahu. Belajar dari anggota selama lebih dua puluh tahun, membuatnya mengerti semuanya. Meski hal itu masih ia sembunyikan dari anak-anaknya._