CHAPTER 1
PROLOGUE
“Seperti angin winter yang dingin ketika
menyentuh kulit. Seperti itulah ketika pertama kali aku mengenalnya. Sikapnya
kenapa tak seperti aku dan temannya yang lain? Ada yang salah? Atau itu perlu
alasan?”
Decit
suara sepatunya menyentuh lantai lorong sekolah yang terlihat bersih itu, cara
berjalannya lambat tapi penuh hentakan. Sesekali ia berhenti untuk memutar
ulang rekaman yang sama diha-penya, menggegamnya erat dan memasang earphone
dikedua telinganya. Hening. Serasa lorong itu sepi tanpa siapa pun kecuali
rekaman dari earphonenya, anak-anak murid yang beterbaran seperti hanya sebuah
angin lalu saja baginya.
Kenapa
tak ada sambutan selamat pagi dari seorang kawan? Atau sekedar kata hai dengan
sapaan? Jika tidak ia perlu rangkulan leher untuk itu. Tidak akan pernah
terjadi. Juli, cowok smart yang dikenal kaku itu akan terus melakukan hal yang
sama, hal yang dilakukannya sejak tujuh tahun lalu, dan tak akan pernah
berhenti.
Sifatnya
itu terjadi sejak kematian Ibunya karena satu hal, hal yang tak pernah ia tahu
dan tak akan pernah mau ia tahu. Papanya pengusaha sibuk yang kerjanya
bepergian kesetiap kota demi kota, dan empat tahun lalu sang papa memutuskan
untuk menikahi seorang wanita dari keturuan darah biru yang kerjanya hanya
mengecat kuku, pergi kesalon untuk lulur dan rumah refleksi.
Sejak
saat itu diputuskannya untuk menutp diri dari semuanya, pulang sekolah, les dan
kembali kedalam kerangkeng yang dibuatnya sendiri. Kamar. Ia tak pernah mau
diganggu siapa pun saat sedang menikmati kebersamaan dengan buku-buku komik
dibarengi lantunan lagu klasik yang lamban. Baginya itulah dunianya. Tanpa teman
ataupun keluarga. Ah siapa yang akan peduli dengan dunia membosankan itu.
Juli
masih dilorong, saat ditatapnya jam ditangan kirinya bergerak diangka tujuh
lewat lima menit. Berarti masih ada waktu sepuluh menit baginya untuk membaca
komik, tapi belum sempat ia membuka tasnya, seseorang dari arah samping kiri
menabraknya dengan kencang. Ia terjatuh kelantai dengan bokong lebih dulu.
Nyeri.
“Hey
maaf, aku gak sengaja?” kata si penabrak dengan tenang.
Maaf?
Kata itu sepertinya sudah lama ia tak mendengarnya mungkin ada lebih dari
bertahun-tahun lalu, biasanya jika murid lain menyentuh tubuhnya hanya berlalu tak peduli,
tapi ini...
“Hello,
kok bengong?” ulangnya lagi, kini dengan tersenyum. Juli tersadar dan langsung
bangkit, ia bergegas pergi tanpa berniat melihat sipenabrak tak tahu jalan itu.
“Kau mau kemana? Apa kau tak bisa mengucapkan satu kata pun, aku tersesat. Aku
tak tahu dimana ruang kepala sekolah. HEY!!”
Juli
benar-benar tak peduli, ia tak berhenti dan menoleh. Ia terus memacu langkahnya
semakin kencang. Orang aneh, ia tak pernah mau berkenalan dengan orang-orang
seperti itu. mungkin pikirnya.
Sementara
Juno yang masih disana hanya bisa
geleng-geleng, sekolah barunya sangat aneh. ia baru saja melihat orang seperti
mayat hidup, apa selanjutnya Vampire atau Werewolf yang tiba-tiba menyerangnya.
Merinding.
Selama
ia berpindah sekolah lebih dari tiga kali, ini yang paling menyeramkan. Aura
hitam dari luar sudah sangat menakutan, bagaimana mungkin dia beradabtasi
dengan baik disini. disini, disekolah yang diminta orang tuanya untuk menjadi
yang terakhir kali. Ah mana mungkin dia bisa?!
Sebelum
pindah ke SMA ini, Juno berulang kali berulah dan harus pindah sekolah. Sering
tawuran dan mengerjai guru membuatnya langsung saja di keluarkan, tanpa sanksi
atau skors lebih dulu. Kenakalan Juno dibarengi dengan kepiawaannya dalam
bermusik, memilikir karier musim solo dengan gitar membuat banyak cewek
menggandrunginya, lihat saja seandainya mereka sadar, mereka pasti akan
berteriak kegirangan melihat Juno Maheswa berada disekolah ini.
Tapi,
lupakan itu sebentar saja, karena ia benar-benar tersesat. Lima menit lagi
kelas dimulai, dan ia belum juga menemukan ruang kepala sekolah untuk
memberikan rekomendasi surat pindahnya, bahkan ia tak tahu dimana ruangan
kelasnya. Adakah yang bisa membantunya saat ini? Saat anak-anak sudah berlarian
menuju kelas masing-masing. Ah, ada satu.
Seorang
siswa yang sibuk mengocek ha-penya, sambil sesekali tersenyum sendiri (ekspresi
main game).
“Bro-bro,
bisa kau bantu aku?” panggil Juno pada siswa itu.
“Iya,
kenapa?” Siswa dengan nametag Rion D. itu mendekati Juno dengan wajah
tersenyumnya.
“Kau
bisa mengantarku keruangan kepala sekolah? Aku baru disini dan tersesat.”
“Tersesat?
Oke, mari aku antarkan kesana.”
Keduanya
berjalan beriringan, sementara mata Juno sibuk melihat-lihat semua yang ada
dilorong sekolah itu. ada mading, bangku panjang, pot-pot bunga yang entar
kenapa ditaruh didalam rungan, bukannya mereka akan mati (tumbuhan hidrofit),
dan sebenarnya ada yang aneh dengan mading, satu poster seorang siswa dengan
wajah datar.
Juno
mendekati mading itu dan memadang poster seperti mengingat sesuatu, wajah siswa
itukan yang tadi ditabraknya, tanpa mengucapkan satu katapun ia langsung saja
pergi. Kenapa fotonya ada disini?
“Dia
Juliandra Galelia, biasa fotonya selalu ada dimading setiap kali menang lomba.
Siswa smart.”
“Bukannya
dia mayat hidup ya?”
“Mayat
hidup, apa maksudmu?”
“Tadi
gak sengaja aku menabraknya dan tiba-tiba saja dia langsung pergi tanpa berucap
apa pun.”
“Oh
itu. gak usah dipikiran, kalau sudah lama kamu disini kamu bakalan tahu
sifatnya. Dan kamu asrama kan, jangan sampai satu kamar dengannya.”
Sekamar
dengan Juli? Coba pikirkan, sejak pindah keasrama setahun lalu. Dia sering
mengunci dikamar seperti yang dilakukannya dirumah, dia sensitif dan cepat
marah jika ada teman sekamarnya yang membuat kotor. Maka dari itu anak-anak tak
ada yang betah satu kamar dengan Juli.
“Tidak-tidak.
Itu sepertinya menakutkan.” Kata Juno parno. Mana mungkin dia bisa tahan dengan
patung berjalan, dia itu sangat agresif dan cerewet, nakal sekaligus membuat
onar. Lalu jika satu kamar dengan Juli, bagaimana dia bisa melakukan hal
semaunya. Sulit untuk dibayangkan.
Pikiran
itu kemudian hilang, saat dia telah berada didepan ruangan kepala sekolah. Rion
menunggu diluar sambil sibuk bermain game.
Krek..
Suara
tarikan pintu kelas dibuka, seorang siswa dengan senyuman mengambang masuk
kedalam kelas saat disadarinya didalam kelas itu ada seorang guru yang sangat
dikenalnya. Bu Santi guru bahasa inggris sekaligus Walikelasnya.
“Vindra,
kamu telat lagi?” tanya Bu Santi melihat Siswanya melakukan hal yang sama
setiap harinya.
“Enggak
telat kok Bu, anu... itu gerbangnya aja masih dibka. Jadi Vindra gak telat,
kan?” ia kembali tersenyum lagi sambil berjalan menuju bangkunya yang dipojok
belakang didekat Juli.
Sementara
itu Bu Santi masih ditempat yang sama. Dia tak datang sendiri pagi itu. tapi,
bersama seorang siswa baru.
“Baik
semuanya, seperti yang kalian ketahui kalian memiliki teman baru namanya...”
ucapan Bu Santi terpotong saat beberapa siswi berteriak kencang.
“JUNO...!!!”
“Betul
sekali, dia Juno Maheswa artis sosmed yang lagi naik daun itu katanya. Baru
pindah dari Bandung dan pastinya akan bersama kalian selama tiga semester kedepan.”
Saat
Bu Santi sibuk memperkenalkan Juno pada teman-temannya, Juno malah melihat
kearah Vin yang tersenyum, ah salah. Dia melihat kearah Juli yang sibuk dengan
sesuatu yang dibacanya. Mayat hidup itu
ternyata satu kelas denganku. Batin Juno.
Setelah
itu Bu Sinta menyuruh Juno untuk duduk dikursinya yang berada didekat jendela
kanan kelas yang langsung menghadap kearah taman sekolah. Para siswi yang
berada dikelas hampir semuanya tak berkedip melihat artis sosmed itu berjalan.
Menggemaskan memang. Bagi para siswi itu
adalah sebuah mimpi, tapi bagi para siswa itu menimbulkan rasa itu. ah siapa
yang peduli, lupakan.
Langit mulai mendung saat
itu, anak-anak harusnya sudah pulang keasrama mereka masing-masing untuk
menyelesaikan banyak tugas yang berserakan. Membersihkan asrama, pasti.
mengerjakan PR apalagi, tapi jika hujan belum reda bagaiamana mereka akan
pulang.
Jarak
antara sekolah dan asrama memang tak jauh, hanya beberapa menit saja, tapi jika
berjalan kaki pasti pakaian mereka akan basah, alhasil mereka hanya menunggu
sampai hujan reda. Seperti yang dilakukan Vin, ia sibuk menatap tetesan hujan
yang terjatuh setiap milimenitnya. Menurutnya
ia menyukai hujan, karena hujan itu indah. Ia tak pernah mendahuli mendung
meski seperti apa pun, sama seperti tangisan yang tak pernah mendahului rasa
sakit dan kecewa.
Kata temannya patah hati
itu sakit dan bisa membuat orang menangis. Tapi, sejauh ini ia tak pernah patah
hati, jangankan patah hati jatuh cinta saja tak pernah. Umur tujuh belas tahun tak
pernah jatuh cinta? Memang ada yang sedikit janggal, tapi kejanggalan itu tak
pernah dipikirkannya. Teman-teman satu asrama dan satu sekolahnya sering sekali
menggodanya dan mengatakan bahwa Vin tak suka perempuan. Siapa yang bilang?
Berulang kali ia membuat cewek patah hati, di PHP’IN sampai HTS’an. Tapi, tak
satupun dari mereka ada yang nyantol dihatinya dan dijadiin dia pacar.
Hujan semakin deras, ia
bingung untuk pulang keasrama. Saat seseorang mulai berdiri didekatnya,
seseorang itu mengeluarkan payung lipat dari dalam tasnya, hingga ia sendiri
pun sadar siapa yang tengah mematung menunggu hujan berhenti.
“Hey Vin, mau bareng?”
tawar laki-laki itu tersenyum, nametagnya bertuliskan Ryu A.
Vin menoleh keasal suara
itu, dan ditemukannya seorang laki-laki yang tersenyum. Tubuhnya yang tak
begitu tinggi membuat Vin bisa melihat semuanya.
“Boleh. Kok tahu namaku?”
“Masa gak tahu,
satu-satunya siswa yang berani nentang si ketua osis dan langganan setiap senin
dihukum dilapangan, mana mungkin semua orang gak tahu.”
“Oh iya.”
Vin kemudian berjalan
mendekati Ryu yang membawa payung, keduanya lalu berjalan bersama. Tapi,
sesekali Vin lebih dekat kearah Ryu karena payung kecil itu tak begitu kuat
menampung kedua tubuh remaja itu dan... Ryu menarik tubuh Vin dalam pelukannya,
agar Vin benar-benar bisa masuk payung. Vin kaget bukan main, ia tak pernah
dilakukan seperti ini pada siapa pun termasuk cowok, ia ingin melepaskan
pelukan itu tapi rasanya aneh.
“Nah
ini kamar baru kamu.” Kata Rion menaruh satu tas yang dibawanya dilantai
didepan kamar nomor 7. Benar-benar berat tas milik Juno itu, seperti isinya
ratusan batu.
“Jadi
ini kamarku? Siapa temen satu kamarku.”
Rion
hanya menarik bibirnya keatas, sambil memainkan alis kirinya. Ada yang dia
sembunyikan. “Udah ketuk aja.”
Tok.tok.tok.
Juno
mengetuk pintu pelan, tapi tak ada sahutan apa pun. Menunggu lama, Rion tak
sabar ia menggendor dengan kencang, hingga seseorang berteriak dari dalam.
“Sabar!”
kata seseorang itu, kemudian dilanjutkan dengan suara tarikan pintuk.
Seorang
remaja nampak keluar dari sana, hanya menggunakan kolor pendek tanpa atasan
(baca: baju), kulit putih yang bersih tanpa sedikitpun jamur atau panu langsung
terekspos, laki-laki jangkung yang sama seperti remaja lainnya.
“Ada
apa, kak?”
“Nih,
aku bawa temen satu kamarmu. Kenalin gih, namanya Juno anak kelas sebelas.”
“Oh
ya, wah temen baru. Kenali kak, aku Angga.” Nyengir. Cowok bernama Angga itu
memeperlihatkan rentetan gigi putihnya.
“Juno
Maheswa.”
“Juno
Maheswa? Sebentar...” Angga seakan berpikir sesuatu saat cowok didepannya
memperkenalkan dirinya sebagai Juno. “Jadi ini wajah aslinya Juno Maheswa artis
sosmed yang lagi heboh di 2016. Astaga mimpi apa aku semalam, bisa satu
sekolah, satu asrama, bahkan satu kamar denganmu.”
Angga
benar-benar histeris mengetahui siapa sebenarnya teman satu kamarnya yang baru,
biasanya ia hanya melihat dilihat IG, dan sekarang itu menjadi kenyataan.
Sementara Juno yang melihat Angga begitu histeris hanya bisa tersenyum
seadanya, itu sudah kali ke-5786 orang yang melakukan hal itu saat melihat
langsung Juno si ganteng (?)
“Ayo
masuk kak, masuk. Sini aku bawakan tasnya. Dan kak Rion boleh pergi sekarang,
bye.” Lanjut Angga sambil membawakan tas milik Juno, lalu berjalan masuk. Sedangkan
Juno mengikuti dari belakang, sambil membawa dua tasnya yang berat-berat semua.
Itu yang tadi dirasakan Rion. Didalam kamar, Juno melihat semuanya. Kamarnya
benar-benar rapi dan tertata, benar-benar bersih tanpa sedikitpun ada debu.
Malam sudah semakin larut
rasanya, saat lampu-lampu kamar asrama sudah dimatikan, gerbang pun sudah
ditutup sejak pukul delapan. Penghuni asrama yang kesemuanya cowok itu seperti
sudah terlelap meski jam masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Bagaimana
tidak, jika besok mereka kesiangan untuk mengikuti apel pagi, maka siap-siap
nama mereka masuk buku paling menakutkan di I.M High School (Buku merah, buku
yang mencacat setiap anak terlambat).
Tapi,
tidak baginya. Malam-malam begini ia malah sibuk dengan laptopnya. Ia mendownload
sesuatu dari sana. Drama. Pasti, setiap pukul sepuluh malam ia selalu
mendownload drama entah Thailand atau Korea, karena jam segitu jaringan Wifi
asrama mulai membaik. Drama-drama yang ia download memang masih selalu Ongoing
(dramanya masih berlanjut, atau masih tayang ditelevisi setempat), jadi
terpaksa ia harus mencarinya setiap hari, meski pun itu tak memiliki subindo.
Dan
kebiasaan itulah yang membuatnya sering telat datang kesekolah, dengan berbagai
cara ia harus bisa masuk kedalam kelas. Walau gerbang sudah ditutup, apa boleh
buat. Vin, memang memiliki tingkah aneh, sejak masuk SMA ia menyukai
drama-drama yang berbau boyslove dan menyebut dirinya Fudanshi (laki-laki yang
menyukai drama atau anime Yaoi/Yuri). Ia tak malu mengakuinya, karena ia pikir
drama seperti malah cute dan menggemaskan.
Meskipun
ia menyukai yang berbau agak aneh, tapi sampai sekarang ia masih menyukai
wanita. Bahkan meski tak memiliki perasaan apa pun pada mereka, ia tetap
meladeninya. Dengan teman laki-laki pun sama, ia sering bermain basket, ngobrol
bareng dengan mereka, atau melakukan hal yang sejenisnya laki-laki. Dan, tak
ada yang paham apa yang dipikirkannya selain dirinya sendiri.
Tapi,
apa perlu sampai sebegitunya. Menurutnya perlu, ah seandainya ia bisa membagi
pikirannya pada orang lain agar orang lain juga tahu. Mungkin itu akan lebih
menyenangkan lagi. Saat ia masih sibuk dengan laptopnya didekat ranjang, Rion
teman satu kamarnya menedang tubuhnya dari belakang dengan kenncang, hingga
membuatnya terjungkal dan laptop terjatuh kebawah.
“Aw,”
keluhnya sakit.
“Kamu
ngapain jam segini belum tidur, Vin?” tanya Rion sambil sesekali diselingi
nguapan kecil.
“Aku
masih sibuk, download drama.” Jawab Vin santai.
“Astaga,
gila ya kamu. Ini udah hampir jam sebelas. Kalau kamu gak tidur terus besok
telat lagi gimana? Besok senin bro.” Rion terus saja nerocos meski matanya
terlihat tak kuat untuk terbuka lagi.
“He.”
Vin nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Habis nanggung, Yon. Bentar
lagi, satu jam lagi.”
“Awas
ya gak tidur. Lagian itu laptop gak bisa lama-lama entar panas Handwarenya.”
Laptop
itu? ternyata Vin hanya meminjam laptop Rion, karena laptopnya sendiri sedang
dalam masa transisi, maksudnya dalam masa perbaikan dibengkel specialis alat
elektronik. Semua juga gara-gara sering dia pakai tak tahu waktu.
“Iya-iya
tenang aja, aku tahu diri kok kalau minjam.”
“Bagus
deh kalau loe tahu. Hoam.” Rion menguap lagi, kemudian hening tanpa suara apa
pun.
Vin
melanjutkan sibuk dengan laptop pinjamannya, belum sempet ia mencari drama
lain, tiba-tiba ha-penya berbunyi dengan kencang membuat kaget. Ah siapa lagi?
Batinnya menggerutu.
Dilihatnya
ID si penelphone, ah nomor baru. Dari siapa lagi? Apa salah satu fansnya?
(kapan dia punya fans:p).
“Hallo?”
sapa suara berat dari seberang sana. Suara laki-laki. Laki-laki gila mana yang
menghubungi malam-malam begini, apa tidak ada kerjaan lain?
“Hallo,
maaf ya mas ini sudah malam, kayaknya salah sambung deh.”
Tet.
Vin
tiba-tiba saja mematikan sambungan telephone itu tanpa mendengarkan lagi
ucapakan seseorang dari ujung gagang ha-penya sana. Ia tak peduli, meski
seorang polisi menghubungi untuk mengatakan sesuatu, atau bahkan ternyata ia
menang kuis dari salah satu minuman botol (?), karena drama itu lebih penting
dari apa pun, dan... semua itu akan terus berlanjut hingga lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar