CHAPTER 1
Gadis Aneh di Hutan Ujung Kota
Genre: Romance-teen, Fantasy, Magic, School life
Sumber Gambar : id.tubqit.com
Bulan nampak menaung
diatas sana. Warna kuning terangnya menyilaukan mata, hingga kepelosok hutan
belantara. Teriakan dan ngauman anjing-anjing liar mengudara dengan nyaring.
Tapi, gadis itu seperti tak takut akan kegelapan malam, dia malah terus berjalan
tanpa tahu arah. Rambut hitam panjang dan bergelombangnya perlahan menyibak
terkena hembusan angin dingin. Gaun putih sebatas lutut yang terbungkus mantel
coklat sudah terlihat kusam dengan tanah dan lumpur, seperti corak kain yang
berbulan-bulan tak tersentuh genangan air.
Kaki telanjangnya
terus saja melangkah, menginjak ranting dan daun kering dibawah pohon perdu
dengan tinggi puluhan meter. Dibawah pohon akasia ada gundukan batu yang cukup
besar hingga menyandung kakinya.
Tubuhnya hilang
ditelan keanehan, saat tiba-tiba seekor musang belang owston malah nampak mengaduh. Gadis yang sering disebut Luna
itu sudah seperti tak nampak lagi, padahal dia telah menjelma menjadi seekor
musang.
Sudah lebih dari
tiga hari dia tertinggal, rombongan sebangsanya meninggalkannya sendiri. Bukan,
mereka tak pergi begitu saja, tapi Luna tak sengaja tertinggal. Seharusnya dia
sekarang berkumpul dengan yang lainnya, tapi karena kesalahanya hal itu tak
akan terjadi sampai dia tahu dimana mereka pergi.
Saat tubuhnya menjadi
seekor musang, nampak kilatan cahaya merah dilangit. Dengan gerakan cepat dia
mengejar cahaya itu, dia berharap jatuhnya semburat merah itu ada didunianya.
Semakin terang cahaya itu, hampir-hampir saja dia kehilangan jejak, bahkan
rasanya sudah tertutup lebatnya pohon. Tapi, tidak. Cahaya itu kembali
mengudara dengan warna yang lebih terang, terus terang, dan pergi lagi entah
dimana. Sesaat kemudian ada suara ledakan mirip bom. Nyaring!
Dia tak menemukan
lagi, tapi kilatan cahaya yang sama seperti yang pernah ia lihat menembus
selisih pohon hutan kini terlihat sangat banyak. Lalu-lalang benda-benda besar
seukuran setengah gajah beterbaran, bahkan benda dengan suara nyaring
menghancurkan telinga memekik tajam.
Dan disana. Lampu
yang menyorot tajam menyilaukan matanya. Lagi, suara nyaring seperti teriakan
kuda terjepit membuat telinganya sakit. Bahkan setelah suara itu seorang
laki-laki berteriak kencang.
“Woi! Hewan, minggir
loe!”teriakan Vigo tak diindahkannya, bahkan Luna hanya diam saja. Padahal berulang
kali ia membunyikan klakson tapi tak ada gunanya.
Selangkah kemudian
Vigo memutar stangnya kekiri sambil berusaha menghindari Luna, tapi yang ia
dapatkan kesialan. Motor depannya menabrak pohon besar dipinggir jalan. Tebeng
dan lampu depannya hancur tak berbekas, membuat tubuh Vigo terguling kesamping
motor, helmnya terlepas dari kepala dan membuat kepalanya terbentur tanah
keras. Terlihat sekarang genangan darah pekat disana.
Luna tak mau tinggal
diam. Sosok gadisnya berusaha menolong, tapi dia malah bingung. Sesekali
digigitnya jari kukunya dan berulang kali dia menaruh lalu menarik kembali
mantel bulu coklatnya. Gelisah.
“Aduh kenapa ini
cowok, apa dia mati?” tanya Luna panik sendiri. “Tidak-tidak. Tenang kamu Luna,
dia nggak mati. Kamu nggak bunuh manusia ceroboh ini.” Dia berusaha terus
menenangkan pikirannya yang sudah semakin kacau.
Keadaan Vigo sudah
mengenaskan, tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Bahkan tangannya tak berdaya,
saat berulang kali Luna mengangkat lalu menjatuhkannya lagi.
%%%
Lampu ruangan itu
terang menyilaukan mata. Tubuh Vigo mulai bergerak, matanya terbuka lebar, tapi
ia mulai mengaduh saat kepalanya yang diperban kesakitan. Vigo berada dirumah
sakit sekarang, sudah jelas, ruangan itu, infus ditangannya, dan bajunya yang
entah kapan diganti menandakan bahwa ia sudah tertahan disana untuk beberapa
saat.
Tak mau terus
bingung, Vigo berusaha bangkit dengan tubuh yang masih lemas. Tapi, saat ia
menggerakkan tangan kanannya sesuatu benda mencegah, ia merasakannya dan yakin
kalau benda itu bukan tikus atau sejenisnya yang akan membuatnya berteriak
selain kemarahan sang Mama. Saat ditengokkan wajahnya, sebuah tangan
menggenggam erat tangannya. Gadis dari
mana ini? Tanya batinnya bingung.
Digoyang-goyangkannya
lengan gadis dekil itu, tapi tak ada
reaksi. Gadis itu malah hanya menggaruk pipinya sambil melap air liurnya yang
menggenang diselimut Vigo. Jorok! Vigo menggidik jijik dengan gadis itu.
“Eh loe. Hei bangun,
siapa sih loe? Bangun gak, atau gue timpuk pakai botol infus nih.”
Vigo sudah naik
pitam, kepalanya mulai berasap karena jengkel. Tapi, Luna tetap tak ber-respon.
Bahkan disaat tidur pegangannya masih begitu erat. Vigo menarik tangannya
sekencang mungkin, lalu sedikit menyepak Luna dengan kakinya. Ia kejam pada
cewek! Ah mana ia peduli. Sejurus
kemudian tubuh Luna terjungkal kebawah ranjang.
“Aw!” Luna mengaduh.
Vigo pura-pula bego’.
“Ngapain loe
dibawah?”
“Ngapain-ngapain.
Apa kamu nggak lihat. Eh kamu sudah bangun, kukira kamu bakalan mati.”
“Mati? Gak mungkinlah
cuma gara-gara nabrak pohon gitu aja mati... semua ini karena hewan menjijikkan
itu. Sialan.”
Luna menggeram diam
mendengar Vigo menyebutnya hewan menjijikkan dan sialan. Vigo tak tahu saja bahwa
gadis didepannya itu si musang yang sudah dimaki-makinya. Seandainya tahu pun
mungkin ia akan menggidik takut dan lekas-lekas pergi dari rumah sakit itu, mengurung
diri dikamar dan ditemukan mengenaskan. Tidak.
“Wait, loe siapa?
Ngapain disini? lagian loe dekil banget.” Lanjut Vigo.
“Dekil? Kamu ini
nggak tahu kalau aku yang nolongin kamu. Untung aku bawa kesini, kalau nggak
kamu udah dikulitin sama anjing, digigitin tikus, terus dimakan sama serigala.”
“Udah-udah, bikin
parno gue aja loe. Oke, makasih Eng...”
“Luna, panggil aku
Luna.”
“Baik Sis Luna. Asal
loe dari mana? Dan... sumpah loe dekil banget, berapa bulan sih loe gak mandi.
Mana bau banget lagi. Huekk.”
“Bau?” Luna mencium
badannya yang kata Vigo bau.
Memang harus diakuinya
bahwa dia lupa kapan terakhir kali menyentuh air. Ah memang biasanya dia jarang
mandi. Lagi pula musang mana yang mengenal mandi. Mereka adalah bangsa yang
mengenal air hanya untuk minum. Mungkin.
Luna memajukan
bibirnya, berusaha mencari alasan yang logis, karena tidak mungkin dia
mengatakan pada manusia ceroboh itu kalau dia adalah silluman musang yang
tertinggal jauh dari rombongannya yang bermigrasi.
“Aku juga tidak
ingat siapa dan dari mana asalku, yang kuingat tiba-tiba aku menemukanmu jatuh
dari benda didekat pohon.”
Vigo malah berusaha
dan mencari cara agar si cewek itu bergegas pergi, bahkan cerita gadis itu tak
sedikitpun membuat Vigo tergugah. Semua orang pasti menyangka bahwa dia
gelandangan yang suka ngemis dijalanan. Kalau tidak, mungkin dia kabur dari
penampungan. Sudah jelas bukan.
Tapi, kalau dilihat
lebih dalam wajah Luna cukup menarik, bibirnya yang kecil dan sensual, matanya
bulat dengan iris amber seperti Edward Cullen di Twillight, dan wajahnya bulat oval
atau sedikit lonjong, semua dipadu dengan rambut bergelombang mirip
karakakter Aom Am (Didrama Full House
versi Thailand). Tidak membosankan untuk dilihat.
“Kalau gue lihat loe
lumayan juga, cuma kurang sedikit polesan atu permak (jeans?)”
“Polesan? Permak?”
ulang Luna lagi-lagi dengan nada bingungnya.
Hadeh. Dia nggak
begitu ngeh dengan omongan Vigo sedari tadi. Kadang cowok itu marah, merinding
jorok, parno, sampai menggoda dengan mata yang dikerdipkan sebelah. Bulu kuduk
Luna sampai terangkat sendiri, karena ini pertama kalinya dia mengobrol sejuah
ini dengan manusia.
“Udah deh, dari pada
loe berdiri disitu sambil megang jari loe, mendingan ambilin gue buah.”
Seperti sebuah
perintah sang komandan pada anak buahnya, Luna langsung menuruti apa yang
disuruh Vigo. Dia mengambil sebuah apel dipiring yang berada diatas meja dan
langsung menyodorkannya pada Vigo. Sementara Vigo nampak tak peduli, bagaimana
mungkin ia bakalan kuat menggigit buah itu dalam keadaan yang tidak stabil.
“Loe nyuruh gue
makan buah itu dalam keadaan kayak gini? Wah sarap nih cewek. Kan loe bisa
potong sama pisau.”
“Aku nggak pernah
gunain pisau.”
“Yaampun loe makhluk
dari mana sih, sampai gunain pisau aja gak bisa?”
Luna mengambil pisau
yang berada disamping piring buah, dipandanginya benda putih tajam itu dengan
seksama. Melihat benda itu, ingatan masa lalunya terulang kembali.
Saat itu bulan sabit
kuning, saat para siluman mengalami kelemahan. Para pemburu datang kehutan dan
menangkap satu persatu mereka termasuk ayah Luna, menggunakan pisau perak. Tak
ada yang bisa mencegahnya, bahkan siluman Bobcat pun harus tertangkap, tapi tak
sampai lama, Bobcat sudah terbebas dan mengetuai migrasi besar-besaran.
Mengingat hal itu keringat panas-dingin menetes dari dahinya,dia sampai
bergetar takut.
“Aku nggak bisa!”
Luna berteriak, lalu melemparkan pisau itu disisi ranjang.
“Kenapa sih loe?
Aneh.”
Luna masih mengingat
kejadian itu, sementara Vigo berusaha perlahan membuka buah jeruk mandarin.
Saat pintu ruangan dibuka cepat, seorang laki-laki dan dua perempuan datang
menghampir Vigo dengan wajah lemas.
“Igo, kamu nggak
apa-apa kan? Apa, apa ada yang harus dioperasi? Gimana keadaanmu sekarang? Kamu
nggak amnesia, kan?” rentetan pertanyaan dari sang Mama membuat Vigo hanya bisa
menarik nafas panjang. Mama kebiasaan.
Batin Vigo.
“Apa sih Ma? Vigo
kan udah gede nggak usah dibegituin. Lagian dia kan Cuma diperban.” Imbuh sang
Papa menenangkan.
Chaca si adik malah
mendekati Luna yang masih diam terpaku karena melihat keluarga Vigo datang.
Chaca lalu berucap, “Kak Igo, cewek dekil ini siapa?”
“Iya Igo, dia siapa?
Temen kamu? Kok kotor gitu.” Mama Vigo lalu mendekati Luna, dipegang pelan
pundak Luna yang tak merespon. “Nama kamu siapa?”
“Luna.” Jawab Luna
singkat.
“Luna, kamu temennya
Vigo ya?”
Luna diam, tak tahu
harus berkata apa. Karena dia tak tahu apa hubungannya dengan Vigo, teman pun
bukan. Mereka bertemu karena tak sengaja. Seandainya pun Luna tak merasa
bersalah mungkin dia sudah meninggalkan Vigo dari awal.
“Iya Ma, dia temen
Vigo. Orang tuanya sudah meninggal lama, dia gak punya saudara, kemarin
rumahnya kebakaran. Tapi, dia baik kok Ma, buktinya dia yang ngebawa dan
nungguin Vigo dari kemarin.”
“Oh ya. Kasihan
sekali. Gimana kalau kita bawa Luna pulang kerumah, biar tinggal bareng Vigo
dan Chaca kan, pa.”
Sang Papa
mengangguk.
“Apa?! Gak bisa Ma,
Chaca gak mau dia tinggal satu rumah. Asal usulnya aja gak jelas, gimana kalau
ternyata dia buronan polisi atau yang lainnya.”
“Jangan ngaco’ ah.
Kan Vigo tadi ngomong kalau Luna itu temannya, itu cukup. Setelah Vigo keluar
dari rumah sakit Luna harus ikut pulang.”
Sang Mama masih
bersemangat mengajak Luna pulang, sementara Vigo dan Chaca sebenarnya memiliki
pemikiran yang sama, tidak mau kalau cewek aneh itu tinggal satu rumah dengan
mereka.
Dikeadaan yang sama,
Tuan Aris, Papa Vigo dan Chaca mencium
keanehan tersendiri dalam diri Luna. Tuan Aris merasakan sesuatu yang tak ia
rasakan pada anak-anak lain. Aroma yang begitu menyengat berbau natural tapi
menusuk hidung. Mungkin hanya ia yang tahu. Belajar dari anggota selama lebih dua
puluh tahun, membuatnya mengerti semuanya. Meski hal itu masih ia sembunyikan
dari anak-anaknya._
Publis pertamaku, semoga banyak yang suka
BalasHapus